Saturday 18 November 2017

Kekuasaan Dan Dogmatik Hukum Forex


Dogmatik Hukum memiliki konotasi pejoratif dengan A Jaran hukum (rechtsleer) atau Kemahiran hukum (rechtskunde) yang merupakan Cabang dari ilmu hukum yang berkenaan dengan obyek-obyek (Pokok-Pokok pengaturan) Dari hukum, bahkan Lebih Luas YG berkenaan dengan tata hukum (rechtsbestel) Secara complessive degli ospiti. Dogmatik hukum mengumpulkan dan menelaah Pokok-Pokok pengaturan yang terdapat Dalam peraturan perundang-Undangan dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang Lebih baik dan penjelasan Tunggal tentang Pokok telaah yang diteliti. K egunaan dari dogmati k hukum Adalah upaya menemukan dan mengumpulkan Bahan empirikal sampai ke sudut-sudut terjauh Dari hukum, yaitu dengan cara penataan dan pengolahan Secara sistematikal, dengan menampilkan Gambaran Secara menyeluruh terikhtisar dan kejernihan dari APA yang tampaknya merupakan Suatu kesemerawutan dari pengumpulan Bahan yang Belum lengkap atau tercerai berai. Maka Dogmatik hukum mempresentasikan Secara terpadu dan globale (sintetikal) Tingkat hukum keadaan, sehingga para juris Akan merujuk kepadanya, begitu pembacaan biasa ATAS undang-undang Tidak Lagi cukup untuk penyelesaian masalah-masalah yang di hadapi. Objek kajian Dogmatik hukum Adalah menggali Sumber-Sumber hukum Dalam arti formale Luas yakni perundang-Undangan, pengadilan putusan, Traktat-Traktat, ASAS-ASAS hukum, kebiasaan, sesungguhnya dan memandang hukum Secara terisolasi seolah-Olah tercabut dari Sumber kehidupannya yang. D ogmatik hukum pada dasarnya Melihat hukum sebagai Sebuah kemandirian Murni dengan Suatu Daya Hidup (levenskracht) sendiri terlepas Dari peristiwa-peristiwa kemasyarakatan. Instrumen kerjanya Adalah sistematisasi berdasarkan Kaidah 8211 Kaidah LOGIKAL. Jadi Dogmatik Hukum (rechtsdogmatiek) atau AJARAN hukum (rechtsleer) yaitu Dalam arti sempit, bertujuan untuk memaparkan, mensistematisasi juga menjelaskan (verklaren) hukum Positif Yang berlaku (positiefrecht vigerende). Walaupun demikian, Dogmatik Hukum bukanlah ilmu netral yang bebas Nilai. Tidak Karena itu hukum saling terkait Antara Nilai Nilai-dan kaidah8211kaidah. Bukankah Dalam asasnya sangat mungkin memaparkan nilai8211nilai dan kaidah8211kaidah sebagai ketentuan8211ketentuan faktual Secara sepenuhnya netral dan objektif, melainkan Secara Sadar mengambil sikap berkenan dengan Butir-Butir yang di diperdebatkan. Sehingga orang Tidak Hanya mengatakan bagaimana hukum dapat di interpretasikan melainkan Juga bagaimana hukum Harus diinterpretasikan. Dogmatik Hukum memaparkan dan mensistematisasi hukum Positif yang berlaku Dalam Suatu Masyarakat tertentu dan pada Suatu waktu tertentu dari Suatu sudut Pandang normatif. Sudut Pandang normatif ini dapat berupa yuridik maupun interno ekstra yuridik. Bahwa Sebuah Pasal undang8211undang tertentu Harus dipandang Sudah dihapuskan Secara diam8211diam Karena ia bertentangan dengan ketentuan Dalam Sebuah undang8211undang yang Lebih Baru, berdasarkan ASAS hukum yang Umum bahwa undang8211undang yang Baru Harus Selalu didahulukan ketimbang undang8211undang yang Lama (lex posterior derogat legi priori). Jadi Dogmatik Hukum mempelajari aturan8211aturan hukum ITU sendiri dari Suatu sudut Pandang atau pendekatan Teknikal. Dogmatik Hukum bertujuan untuk atau memberikan Sebuah penyelesaian konkret, atau membangun Suatu kerangka yuridik-Teknikal, Bagi semua masalah konkret, atau membangun Suatu kerangka yuridik-Teknikal yang didasarkan pada sejumlah masalah yang ada yang ada atau kemudian Harus dapat memperoleh penyelesaian yang yuridik. Filsafat Adalah penelitian yang menelaah pertanyaan sejauh mana orang dapat memperoleh dan mengembangkan pengetahuan tentang hukum dan Bahan-Bahan terberi dan gagasan-gagasan yang terkait, apa Kritéria untuk keilmiahan dari pengetahuan tersebut. Penggolongan ke Dalam bagian-bagian dari berbagai Jenis pengetahuan hukum tentang. Filsafat Hukum Adalah filsafat Umum yang di terapkan pada hukum atau gejala8211 gejala hukum. Dalam filsafat pertanyaan8211pertanyaan yang SERING dibahas Dalam hubungan dengan makna, landasan, struktur dan sejenisnya Dari kenyataan. Dalam filsafat hukum pertanyaan8211pertanyaan ini difokuskan Secara yuridikal. Dalam kepustakaan, Filsafat Hukum didefenisikan a. Sebagai Sebuah Disiplin spekulatif, Yang berkenan dengan penalaran8211penalaran Tidak Selalu dapat diuji Secara rasional, dan yang menyibukan diri dari Latar belakang dengan pemikiran (I. Tammelo). b. Sebagai Disiplin yang mencari pengetahuan tentang hukum yang 8220benar8221 hukum yang Adil (J. Schmidt H. Kelsen). c. Sebagai Sebuah refleksi atas dasar8211dasar dari kenyataan (yuridikal), Suatu bentuk dari berpikir sistematikal yang Hanya akan MERASA PUA dengan hasil8211hasil yang Timbul dari Dalam pemikiran (berpikir kegiatan) ITU sendiri dan yang mencari Suatu hubungan teoritikal terefleksi Yang didalamnya gejala-gejala hukum dapat dimengerti dan dipikirkan (D. Meuwissen) d. Sebagai Disiplin yang mencari pengetahuan tentang hakekat (sifat) Dari Keadilan. Pengetahuan tentang bentuk keberadaan transeden dan immanen Dari hukum. Pengetahuan tentang nilai8211nilai yang didalamnya hukum berperan dan dengan hubungan Antara hukum dan Keadilan. Pengetahuan tentang morale dan dari ilmu hukum. Dan pengetahuan antara hukum dan morale (J. Darbellay). Filsafat Hukum dapat dibagi ke Dalam sejumlah Wilayah bagian: a. Ontologia hukum (AJARAN Hal Ada, zijnsleer): penelitian tentang 8220hakikat8220 Dari hukum. Tentang 8220hakikat8221 misalnya dari demokrasi, tentang hubungan Antara hukum dengan morale. b. Aksiologi Hukum (AJARAN Nilai, waardenleer). penentuan isi Dan nilai8211nilai seperti kelayakan, persamaan, Keadilan, kebebasan, kebenaran, penyalahgunaan hak. c. Ideologi Hukum (harafiah: idea AJARAN, ideenleer): pengolahan Wawasan menyeluruh atas manusia dan Masyarakat yang dapat berfungsi sebagai landasan legitimasi bagi Pranata 8211 Pranata hukum yang ada yang atau Datang akan. Misalnya tatanan 8211 tatanan hukum kodrat. d. Epistemologia hukum (pengetahuan AJARAN, kennisleer. Penelitian tentang pertanyaan sejauh mana pengetahuan tentang 8220hakikat8221 dari hukum atau masalah8211 masalah lainnya fondamentale. E. Teleologi Hukum (finalitas Ajaran, finaliteitsleer). Menentukan makna dan tujuan dari hukum. F. Ajaran ilmu (wetenschapsleer). meta-teori dari ilmu hukum yang di dalamnya menjawab pertanyaan 8211 pertanyaan sejauh mana pengetahuan ilmiah dari hukum. g. Logika hukum (rechtslogika). penelitian tentang aturan-aturan berpikir hukum dan argumentasi yuridik, Bangunan LOGIKAL Serta struktur sistem hukum. Filsafat hukum Harus melakukan perenungan Diri (zelfreflektie). Pada Wilayah filsafat hukum TIAP Unsur ilmiah-Positif Secara a priori akan tertutup. filsafat hukum Secara esensial mewujudkan Suatu pemikiran spekulatif maka filsafat hukum dapat bersifat rasional Hanya atas dasar kriterianya sendiri, Yang keberadaannya sendiri dapat didiskusikan. berada filsafat hukum pada tataran yang Lebih Tinggi dari pada teori hukum dan ia memiliki Suatu cakrawala yang Lebih Luas, Karena Filsafat hukum Harus memberikan jawaban-jawaban yang untuk Sebuah tata hukum (rechtsbesial) Atau tatanan hukum (rechtsorde) dapat memuaskan Tuntas dan. Filsafat Hukum Harus memberikan atau menyediakan pengertian8211penertian dan nilai 8211 nilai fondamentale yang akan digunakan pada Karya ilmiah empirikal, Dalam Dogmatik hukum dan teori hukum. Teori Hukum Adalah mencari (memperoleh) penjelasan tentang hukum dari sudut Faktor 8211 Faktor Bukan hukum yang bekerja di Dalam Masyarakat dan untuk ITU menggunakan Suatu metode interdisipliner. Dengan demikian penetapan tujuan dan metode, teori hukum membedakan diri Secara wajar dari pengembanan hukum Praktikal. Teori Hukum mempelajari hukum dengan tujuan Suatu pemahaman yang Lebih baik dan terutama Lebih mendasar tentang hukum, hukum demi, Bukan demi Suatu pemahaman Dalam hubungan 8211 hubungan kemasyarakatan atau Dalam Kaidah-Kaidah etikal yang dianut Dalam Masyarakat atau Dalam reaksi-reaksi psikologikal Dari Suatu penduduk. Teori hukum Adalah Cabang dari ilmu hukum Bukan ilmu bantu dari ilmu hukum. Teori Hukum Harus berupaya untuk memulihkan kesatuan Antara Aspek hukum dan kenyataan kemasyarakatan. keterbagaian Mempersatukan yang ditata Oleh ilmu-ilmu dan keharusan-keharusan Akademik kedalam Suatu Gambaran menyeluruh yang setia pada kebenaran. Untuk ITU teori hukum akan Harus mengandalkan ilmu-ilmu (Sejarah, sosiologi, dll ekunomi), Karena fattore-faktor pembentuk hukum yang berdasarkannya teori hukum Harus menjelaskan hukum. Teori Hukum sebagai penelitian interdisipliner memancar ke sekian banyak Disiplin sesuai atau mengikuti banyaknya metode-metode yang digunakan. Terhadap ini dapat dikatakan bahwa teori hukum memberikan pimpinan pada penelitian, Karena itu Selalu Hadir agar objek penelitian sebagai gejala yuridikal dapat tetap pada sasaran Titik bidik (visir) 8220dengan mengingat8221 hukum dan demi hukum. Teori Hukum Adalah Suatu Cabang dari ilmu hukum yang merujuk pada sejumlah Cabang-Cabang ilmu yang otonom dan dan mengolah mensintetisasi semua Bahan-Bahan yang terberi yang dihasilkan Dari penelitian ilmu-ilmu tersebut menjadi sasaran diagnosi dan Terapi-Terapi yang relevan. Teori Hukum sebagai kelanjutan dari AJARAN hukum Umum memiliki objek Disiplin Mandiri Suatu Tempat diantara dogmatika hukum di Satu sisi dan filsafat hukum di sisi lain. Di Saat AJARAN hukum Masih dipandang sebagai pengganti atau penerus ilmiah-Positif dari filsafat hukum metafisikal yang Tidak ilmiah, dewasa ini teori hukum teori hukum diakui sebagai Disiplin ketiga di samping dan untuk melengkapi, filsafat hukum dan hukum dogmatica, Yang Masing-Masing memiliki (mempetahankan ) wilayah sendiri dan Nilai sendiri. Teori Hukum bertujuan untuk menguraikan hukum Secara ilmiah Positif, Namun Wilayah penelitiannya sebagiannya Luas dan sebagian tergeser (verschohen).teori hukum berbicara tentang hukum bertolak dari Suatu perspektif Bukan yuridik (Teknikal) Dalam Suatu Bahasa Bukan yuridik (Teknikal). Teori Hukum melakukan studi Kritikal terhadap penalaran dari ilmuan dan strumentario konsep-konsep yuridik, Teknik-Teknik interpretasi criteri dan untuk keberlakuan aturan 8211 aturan hukum yang digunakannya Jadi Teori Hukum dan Dogmatik Hukum Tidak Saling Tumpang tindih, melainkan mempunyai Masing-Masing Wilayah telaah yang Mandiri . Dogmatik Hukum bertujuan untuk memberikan Suatu pemaparan dan sistematisasi hukum Positif yang berlaku, sedangkan Teori Hukum bertujuan untuk memberikan refleksi atas pemaparan dan sistematisasi. Jika Dogmatik Hukum mempelajari aturan-aturan hukum dari Suatu pendekatan Teknikal (walaupun Tidak un-normatif), Maka Teori Hukum Pertama-tama Adalah Sebuah refleksi terhadap Teknik hukum ITU. Dogmatik Hukum berbicara tentang hukum, sedangkan Teori Hukum berbicara tentang cara yang dengannya ilmuan hukum berbicara hukum. Sedangkan hubungan Teori Hukum dan Filsafat Hukum dapat dirangkum sebagai Sebuah hubungan meta-Disiplin (filsafat hukum) terhadap Disiplin objek (teori hukum). Filsafat Hukum Secara esensial mewujudkan Suatu pemikiran spekulatif, sedangkan Teori Hukum mengupayakan Suatu pendekatan ilmiah-Positif terhadap gejala hukum. Dengan pikiran demikian spekulatif ini maka Filsafat Hukum dapat bersifat rasional Hanya atas dasar kriterianya sendiri, Yang keberadaannya sendiri didiskusikan. Sebaliknya Teori Hukum ITU rasional atas dasar criteri Umum, Yang di terima Oleh TIAP orang. Jadi Teori Hukum Muncul Karena 8220kelesuan8221 diantara Filsafat Hukum yang terlalu Abstrak dan spekulatif, sementara Dogmatik Hukum dipandang terlalu konkret terkait dengan waktu. Teori ilmu hukum bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang Lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin mengenai Bahan hukum yang tersaji Dalam kegiatan yuridis di Dalam kenyataan Masyarakat objek telaahnya Adalah gejala Umum Dalam tatanan hukum Positif yang meliputi Analisis Dalam hukum dan kritik ideologi terhadap hukum. era 8413 10 8413 2010 8413 Mengenai Saya Vincitore a. Siregar Kendari, Indonesia Lahir di Kendari, Sulawesi Tenggara. alumni Fakultas Hukum Univ. Hasanuddin-Makassar. Saat ini Sedang berkuliah di Programma Pasca Sarjana Hukum Tata Negara di Tempat yang sama. Juga STAF pengajar di Univ. Sultra. pernah Aktif di GMKI, uo Institut, Sekretaris Komisi Pemuda Gepsultra dan mengikuti Youth Network in costruzione della pace di Amman. meminati studi hukum, Politik, kepemimpinan, kebudayaan dan pertahanan. pernah meneliti tentang DOM Aceh. Lihat profil lengkapkuTEORI hukum BAB I PENDAHULAUN Masyarakat diajak untuk memasuki dromologi berpikir, Yang aktualisasinya Muncul melalui Kritik, pemikiran pembalikan, penghancuran bahkan (dekonstruksi). pada pembahasan Pertama Dalam makalah ini, penulis ingin mencoba menjelaskan tentang Teori Hukum, apa dan bagaimana hubungannya dengan Dogmatik Hukum dan Filsafat Hukum. Pada pembahasan kedua Dalam makalah ini penulis menjelaskan tentang Pokok-Pokok pembahasan teori hukum Murni, Yang terdiri ATAS pengertian Teori Hukum Murni Hans Kelsen, Serta perdebatan mengenai Teori ini di Indonesia. Pendekatan yang dilakukan Oleh Kelsen disebut la teoria pura del diritto mendapat Tempat tersendiri Karena Berbeda dengan dua Kutub pendekatan yang Berbeda Antara mazhab hukum Alam dan positivisme Empiris. Beberapa Ahli menyebut pemikiran Kelsen sebagai Jalan tengah dari dua aliran hukum yang ada Telah sebelumnya. Pada bagian ketiga dari makalah ini, penulis menjelaskan tentang perdebatan para Ahli hukum Seputar Struktur hukum, substansi hukum, dan Budaya Hukum, sebagaimana di kemukakan Oleh L. Friedman, Serta relevansi teori hukum ini pada tananan hukum di Indonesia. Lawrence M. Friedman Melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum Selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum Dalam pandangan Friedman terdiri dari Tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (struttura giuridica), substansi hukum (sostanza legale), budaya hukum (cultura giuridica) Pada bagian keempat dari makalah ini, penulis menjelaskan perdebatan Seputar Teori hukum responsif yang dikemukakan Oleh Nonet Dan Zelnick, Serta perkembangannya apakah relevan dengan konteks di Indonesia. Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Zelnick membedakan Tiga klasifikasi dasar dari hukum Dalam Masyarakat, yaitu hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakan represif dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), Dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi Sosial (hukum responsif). Dan pada bagian Kelima atau bagian terakhir dari makalah ini, penulis ingin menjelaskan tentang perkembangan Teori hukum Progresif di Indonesia sebagaiman Oleh dicetuskan Sartjipto Raharjo. Hukum Progresif Lahir di Indonesia akibat gagalnya Reformasi yang terjadi di Indonesia dimana hal ini dimulai dari asumsi dasar bahwa hukum Adalah institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang Adil, Sejahtera dan Bahagia. BAB II PEMBAHASAN A. Teori Hukum a. Pengertian Teori Hukum Menurut gen Gijssels dan Mark van Hoecke, Teori hukum merupakan Disiplin Mandiri yang perkembangannya dipengaruhi dan sangat terkait erat dengan AJARAN hukum Umum. Perkembangan définitif dari teori hukum menjadi Sebuah Disiplin pada paruh waktu kedua dari Abad duapuluh diinspirasi Oleh timbulnya ilmu ilmu Baru atau Cabang-Cabang dari ilmu yang Sudah Ada, seperti informatika, Logika deontik, kibernetika, sosiologi hukum, Etiologi (hukum) Dan sejenisnya. Menurut J. J.H. Bruggink, hukum teori hukum Adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan dengan berkenaan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan, Dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. Menurut Bruggink, definisi di ATAS memiliki makna ganda, yaitu dapat berarti Produk, yakni seluruh pernyataan yang berkaitan saling ITU Adalah Hasil dari kegiatan teoritik bidang hukum. Dalam Arti prose, yaitu kegiatan teoritik tentang hukum atau pada dapat mengandung makna ganda lainnya, yaitu teori hukum Dalam Luas Arti dan teori hukum Dalam arti sempit. Dalam luas Arti, berarti menunjuk kepada pemahaman tentang sifat berbgai bagian (Cabang sub-Disiplin) teori hukum, yaitu sosiologi hukum, berbicara tentang keberlakuan faktual atau keberlakuan empirik Dari hukum. Teori hukum Dalam arti sempit, berbicara tentang keberlakuan formale atau keberlakuan normatif Dari hukum. Filsafat hukum berbicara tentang keberlakuan evaluatif dari hukum, terakhir Adalah Dogmatik hukum, atau ilmu hukum Dalam arti sempit. Terhadap keempat kegiatan penelitian teoritik bidang hukum sendiri. Disamping mengandung makna ganda diatas, teori hukum menurut Bruggink kajian diatas ITU Bruggink menjelaskan bahwa teori hukum Dalam arti Luas ITU terdiri atas bagian bagian APA Saja, Adalah masalah Sulit sebab setiap penulis mengajukan pembagian sendiri dengan menggunakan definisi yang sesuai dengannya. b. Hubungan Dogmatik Hukum dan Teori Hukum Sebelum saya berbicara Jauh atau melangkah Jauh Dalam membahas hubungan Dogmatik hukum dan teori hukum, Maka ada baiknya kita mengenal Lebih Dulu APA yang dimaksud dengan Dogmatik Hukum. Dogmatik hukum (rechtsleer) atau Dogmatik hukum (rechtdogmatiek), Juga Sering disebut sebagai ilmu hukum (rechtswetenschap), Dalam arti sempit bertujuan untuk memaparkan dan mensistematisasi Serta Dalam arti tertentu juga menjelaskan (verklaren) hukum Positif yang berlaku. Walaupun demikian Dogmatik hukum ITU bukanlah ilmu netral yang bebas Nilai. Sehingga Jika cermati hubungan Dogmatik hukum dengan teori hukum Tidak Saling Tumpang tindih, melainkan Satu sama rimasto memiliki telaah sendiri-sendiri (Mandiri), sebagaimana dibawah ini: a. Dogmatik hukum mempelajari aturan-aturan hukum ITU dari Suatu sudut Pandang Teknikal (walaupun Tidak un-normatif), Maka teori hukum merupakan refleksi terhadap Teknik hukum ini. b. Dogmatik hukum berbicara tentang hukum. Teori hukum berbicara tentang cara yang dengannya ilmuwan hukum berbicara tentang hukum c. Dogmatik hukum mencoba lewat Teknik-Teknik interpretasi tertentu menerapkan teks undang-undang yang pada pandangan Pertama Tidak mengajukan pertanyaan tentang dapat digunakannya Teknik-Teknik interpretasi, tentang sifat memaksa Secara LOGIKAL dari penalaran interpretasidan sejenisnya Lagi. c. Hubungan Filsafat hukum dan teori hukum Sebelum saya membahas Lebih Jauh tentang hubungan filsafat hukum dan teori hukum, Maka saya ingin menjelaskan sedikit tentang pengertian daripada Filsafat Hukum. Filsafat hukum Adalah filsafat Umum yang diterapkan pada hukum atau gejala-gejala hukum. Dalam filsafat pertanyaan-pertanyaan yang palingdalam dibahas Dalam hubungannya dengan landasan, struktur, dan sejenisnya Dari kenyataan. Menururt Jan Gijssels dan Mark van Hoecke filsafat hukum memiliki telaah sebagai berikut: a. hukum Ontologi, penelitian tentang hakekat dari hukum, misalnya hakekat demokrasi, hubungan hukum dengan morale b. Aksiologi hukum, penentuan isi dan Nilai seperti kelayakan, persamaan, Keadilan, kebebasan dan lain-lain. c. Idiologi hukum (idea AJARAN) d. Epistemologia hukum (pengetahuan AJARAN), bentuk metafilsafat e. Teleologi Hukum, Hal menetukan makna dan tujuan hukum f. Ajaran ilmu dari hukum, meta teori dari ilmu hukum g. Logika hukum. Hubungan Filsafat Hukum dan Teori Hukum a. Jika Teori Hukum mewujudkan Sebuah meta-teori berkenaan dengan Dogmatik hukum, Maka Filsafat Hukum memenuhi fungsi Dari Sebuah meta-displin berkenaan dengan Teori Hukum. b. Secara struktural Teori Hukum terhubungkan pada Filsafat Hukum dengan cara yang sama seperti Dogmatik Hukum, terhadap Teori Hukum. c. Filsafat Hukum merupakan Sebuah meta-Disiplin berkenaan dengan Teori Hukum. d. Filsafat Hukum sebagai AJARAN nilai dari Teori hukum dan Filsafat Hukum sebagai AJARAN ilmu dari Teori Hukum. e. Filsafat Hukum sebagai AJARAN ilmu dari teori Hukum dan sebagai AJARAN pengetahuan mewujudkan Sebuah meta-Disiplin berkenaan dengan Teori Hukum Tidak memerlukan penjelasan Lebih Jauh, mengingat Filsafat Hukum di Sini mengambil sebagian Dari kegiatan-kegiatan dan Teori Hukum ITU sendiri sebagai objek studi. Dari Hal di ATAS dapatlah disimpulkan bahwa hubungan Teori Hukum dan Filsafat Hukum dapat dirangkum sebagai Sebuah hubungan meta-displin (filsafat hukum) terhadap Disiplin objek (teori hukum), Dan terkait pada Filsafat Hukum Secara esensial mewujudkan Suatu pemikiran spekulatif sedangkan Teori Hukum mengupayakan Suatu pendekatan ilmiah-Positif terhadap gejala hukum. Dengan demikian maka Filsafat Hukum dapat bersifat rasional Hanya atas dasar kriterianya sendiri, Yang keberadaannya sendiri didiskusikan atau dapat didiskusikan. Sebaliknya teori hukum ITU rasional (atau tidaknya Harus berupaya untuk demikian) ATAS dasar Kritéria Umum, Yang diterima setiap orang. B. Pokok Pokok PEMBAHASAN Teori hukum Murni Kelsen a. Perkembangan Pemikiran Hans Kelsen Jika Visualizzati di recente Dari Karya-Karya yang dibuat Oleh Hans Kelsen, pemikiran Yang dikemukakan meliputi Tiga masalah Utama, yaitu tentang teori hukum, Negara, dan hukum internasioanl. Ketiga masalah tersebut sesungguhnya Tidak dapat dipisahkan Satu dengan lainnya Karena saling terkait dan dikembangkan Secara konsisten dan dikembangkan Secara konsisten Secara Logika hukum formale. Teori Umum tentang hukum yang dikembangkan Oleh Kelsen meliputi Dua Aspek penting, yaitu hukum STATIS (nomostatics) yang Melihat perbuatan yang diatur Oleh hukum, Dinamis dan ASPEK (nomodinamic) yang Melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu. Dari Asal usulnya, teori hukum Murni merupakan Suatu bentuk pemberontakan yang ditujukan terhadap Ilmu Hukum yang Ideologis, yaitu AJARAN Yang Hanya mengembangkan hukum sebagai alat pemerintahan Suatu Režim dari Negaranegara totaliter. Teori ini Hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu Dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada. Bagian lain dari teori Kelsen yang bersifat dasar Adalah konsepsinya mengenai Grundnorm. Kecuali berfungsi sebagai dasar Juga sebagai tujuan yang Harus diperhatikan Oleh setiap hukum atau peraturan yang ada. Semua hukum yang berada didalam Kawasan rejim Grundnorm tersebut Harus mengait kepadanya, Oleh Karena itu Bisa Juga Visualizzati di recente sebagai induk Yang melahirkan peraturan-peraturan hukum Dalam Suatu tatanan sistem tertentu. Grundnorm ini Tidak Perlu sama untuk setiap tata hukum. Ilmu hukum Adalah ilmu normatif, menurut demikian Kelsen dan hukum ITU semata-mata berada Dalam Kawasan dunia sollen. Karakteristik dari norma Adalah sifatnya yang hipotetis, Lahir Bukan Karena Alami, melainkan Karena kemauan dan Akal manusia. Kemauan Dan Akal ini menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar. Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai 8220suatu Analisis tentang struktur hukum Positif, Yang dilakukan seeksak mungkin, Suatu analisis Yang bebas dari semua pendapat ETIS atau Politis mengenai Suatu nilai8221. Kelsen pada dasarnya ingin menciptakan Suatu ilmu pengetahuan huikum Murni, menghilangkan Dari semua Unsur-Unsur yang Tidak penting dan memisahkan giurisprudenza Dari ilmu-ilmu Sosial, sebagaimana Yang dilakukan Oleh kaum analis Denga tegas. Friedman dasar-dasar mengungkapkan esensial dari pemikran Kelsen sebagai berikut: 1. Tujuan teori tentang hukum, seperti Juga setiap ilmu, Adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (l'unità). 2. Teori hukum Adalah ilmu, Bukan kehendak, keinginan. Ia Adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, Bukan tentang hukum yang ada seharusnya. 3. Ilmu hukum Adalah normatif, bukanilmu Alam 4. Sebagai Suatu teori tentang norma-norma, teori hukum Tidak berurusan dengan persoalan efektivitas norma-norma hukum. 5. Suatu teori tentang hukum Adalah formale, Suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-Ubah menurut Jalan atau pola Yng spesifik. Hubungan antara teori hukum dengan Suatu sistem hukum Positif tertentu Adalah seperti Antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada. Pendekatan yang dilakukan Oleh Kelsen disebut la teoria pura del diritto mendapat Tempat tersendiri Karena Berbeda dengan dua Kutub pendekatan yang Berbeda Antara mazhab hukum Alam dan positivisme Empiris. Beberapa Ahli menyebut pemikiran Kelsen sebagai Jalan tengah dari dua aliran hukum yang ada Telah sebelumnya. Fokus Utama teori hukum, menurut Hans Kelsen, bukanlah salinan ide transendental yang sedikit banyak Tidak sempurna. Teori hukum Murni ini tidak berusaha memandang hukum sebagai Anak cucu Keadilan, sebagai anak dari orang yang Tua suci. Menurut Kelsen, Hukum Adalah sistem Norma. Norma Adalah pernyataan yang menekankan Aspek seharusnya atau Das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang APA yang Harus dilakukan. Empirisme hukum Melihat hukum dapat direduksi sebagai Fakta Sosial. Sedangkan Kelsen berpendapat bahwa interpretasi hukum berhubungan dengan Norma yang non Empiris. Norma tersebut memeliki struktur yang membatasi interpretasi hukum. Disisi rimasto Berbeda dengan mazhab hukum Alam, Kelsen berpendapat bahwa hukum Tidak dibatasi Oleh pertimbangan morale. Ilmu hukum Adalah 8220ilmu normatif8221, dinyatakan demikian Oleh Kelsen berkali-Kali. Hukum ITU semata-mata berada Dalam Kawasan dunia sollen. Ciri Hakiki dari Norma Adalah sifatnya yang hipotetis. Ia Lahir Bukan Karena prose Alami, melainkan Karena kemauan dan Akal manusia. Kemauan Dan Akal ini menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar atau permulaan. Dinyatakan, bahwa berbuat Begini atau begitu merupakan Dalil yang Umum dan sebagai kelanjutannya Harus diikuti Oleh konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang demikian ITU akan dilaksanakan Oleh kehendak manusia sendiri Juga. Oleh Karena itu salah Satu Ciri yang menonjol pada teori Kelsen Adalah paksanaan. Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum ITU-berjenjang jenjang dan berlapis-Lapis Dalam Suatu hirarkhi tata susunan, dimana Suatu Norma yang Lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada Norma yang Lebih Tinggi. Norma yang Lebih Tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada Norma yang Lebih Tinggi Lagi, demikian seterusnya sampai pada Suatu Norma yang dapat Tidak ditelusuri Lebih lanjut dan dan bersifat hipotetis fiktif yaitu norma dasar (Grundnorm). Sehingga, Norma Yang Lebih rendah memperoleh kekuatannya dari Suatu Norma yang Lebih Tinggi. Semakin Tinggi Suatu Norma, Akan Semakin Abstrak sifatnya, dan sebaliknya, Semakin rendah kedudukannya, Akan Semakin konkrit norma tersebut. Norma yang palizzata Tinggi, Yang menduduki Puncak piramida, disebut Oleh Kelsen dengan nama Grundnorm (norma dasar). Sistem hukum Indonesia pada dasarnya menganut teori yang Oleh dikembangkan Hans Kelsen. 42 Hal ini Tampak Dalam rumusan hirarkhi peraturan perundangan-Undangan Indonesia sebagaimana dapat kita temukan Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam Pasal 7 undang-undang tersebut bahwa dinyatakan, Jenis dan hierarki Peraturan Perundangundangan Adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun il 1945 2. Undang-Undang atau Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) 3. Peraturan pemerintah 4 . Peraturan Presiden 5. Peraturan Daerah. Sebagai oposisi dari norma morale yang merupakan deduksi dari norma morale lain dengan silogisme, Norma hukum Selalu diciptakan melalui kehendak (atto di volontà). Sebagaimana Sebuah tindakan Hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana gioco di parole, Harus sesuai dengan Norma hukum rimasto yang Lebih Tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum Baru tersebut. Kelsen berpendapat bahwa Inilah yang dimaksud sebagai base Norm yang merupakan presupposto dari Sebuah validitas hukum tertinggi. teori tertentu yang dikembangkan ole Kelsen dihasilkan dari Analisis perbandingan sistem hukum Positif Yang Berbeda-Beda, membentuk konsep dasar Yang Yang dapat menggambarkan Komunitas hukum. Masalah Utama (oggetto) Dalam teori Umum Adalah norma hukum (norma giuridica) elemen-elemen, hubungannya, tata hukum sebagai Suatu kesatuan, strukturnya, hubungan Antara tata hukum yang Berbeda, dan akhirnya kesatuan hukum di Dalam tata hukum Positif yang plural. the teoria pura del diritto menekankan pada pembedaan yang Jelas hukum Antara Empiris dan Keadilan transendental dengan mengeluarkannya dari ruang lingkup kajian hukum. Kelsen sangat skeptis terhadap teori-teori morale objektivis kaum, termasuk Immanuel Kant. Kelsen Tidak mengklain bahwa presupposto dari Norma Dasar Adalah Sebuah kepastian dan merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar Adalah bersifat opzionale. Senada dengan itu, berarti orang yang percaya bahwa Agama Adalah normatif maka ia percaya bahwa 8220setiap orang Harus percaya dengan perintah Tuhan8221. Tetapi, Tidak ada Dalam Sebuah natura yang akan memaksa seseorang mengadopsi Satu perspektif normatif. Berbagai istilah digunakan Oleh Hans Kelsen guna menamai Teori Hukum Positif seperti Ilmu Hukum normatif dan Teori Juristik yang sebangun struktur argumentasinya. Sikap yang diambil Hans Kelsen Adalah pemurnian hukum Dari kepentingan-kepentingan di Luar hukum seperti politik, Keadilan, ideologi dan seterusnya. Hukum merupakan Teknik Sosial yang spesifik dengan objek hukum Positif. Kelsen Juga menolak untuk memberikan definisi hukum sebagai Suatu perintah. Oleh Karena definisi yang demikian ITU mempergunakan subyektif pertimbangan-pertimbangan dan Politis, sedangkan Yang dikehendaki ilmu pengetahuannya Benar-Benar objektif. Perspektif Kelsen Dalam memandang hukum Tidak berusaha menggambarkan APA yang terjadi, tetapi Lebih menitik beratkan untuk menentukan tertentu peraturan-peraturan, meletakkan norma-norma bagi tindakan yang Harus diikuti orang. Dari uraian di ATAS dapat diketahui, bahwa ia menghendaki Suatu Gambaran tentang hukum yang Bersih Dalam abstraksinya dan ketat Dalam logikanya. Oleh Karena Itulah ia menyampingkan hal-hal yang bersifat ideologis, Oleh Karena dianggapnya irasional. Teori hukum yang Murni Juga Tidak boleh dicemari Oleh ilmu-ilmu Politik, sosiologi, Sejarah dan pembicaraan tentang etika. b. Penerapan Teori hukum Murni Hans Kelsen di Indonesia Dengan masuknya kekuasaan Eropa ke Indonesia, masuk pulalah perkembangan pemikiran yang terjadi di Eropa. Terutama ketika orang-orang Indonesia diberi kesempatan untuk belajarmenempuh Pendidikan di Eropa. Mahasiswa Indonesia yang membentuk Perhimpunan Indonesia (Indische Vereniging) berkenalan dengan elemen-elemen ideologi Aufklarung sebagai Suatu ideologi Sekuler yang terkait erat dengan perkembangan Rasionalisme, Empirisme, Idealisme dan Posistivisme. Orang Indonesia Mulai mengenal AJARAN mengenai hak-hak azasi, kemerdekaan, persamaan, demokrasi, Republik, Konstitusi, hukum, Negara, Masyarakat dan. Pemikir-pemikir seperti John Locke, Thomas Hobbes, Rousseeua, Voltaire, Imanuel Kant, Hans Kelsen, Hegel, Adam Smith dan Karl Marx diketahui Mulai. Individualisme, libéralisme, Kapitalisme, Sosialisme, dan juga Marxisme Telah dialami. Ajaran hukum Hans Kelsen terdiri dari dua konsep. 1. Ajaran hukum murni (Reine Rechtlehre) Bahwa hukum itu harus dipisahkan dari sosiologis, moral, politis, historis, dan sebagainya. Hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai mahluk rasional. Baginya tidak mempersoalkan hukum itu dalam kenyataannya, tetapi mempersoalkan apa hukumnya. Bahkan dalam ajaran hukum murni ini menolak keadilan dijadikan pembahasan dalam ilmu hukum. Bagi Hans Kelsen keadilan adalah masalah ideologi yang ideal-irasional. 2. Stufenbau Thery Ajaran ini pada mulanya dikemukakan oleh Adolf Merkl kemudian dipopulerkan oleh Hans Kelsen. Teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma yang berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma semakin abstrak sifatnya, sebaliknya semakin rendah suatu norma semakin kongkrit sifatnya. Menurut Bagir Manan, hukum positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini yang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara. Teori Hukum Murni masih banyak dipakai di Indonesia, hal tersebut tercermin dengan masih diikutinyaditerapkannya beberapa pemikiran dari Hans Kelsen dalam sistem kehidupan secara yuridis. Dalam hubungan tugas hakim dan perundang-undangan masih terlihat pengaruh aliran Aliran Legis (pandangan Legalisme), yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh berbuat selain daripada menerapkan undang-undang secara tegas. Hakim hanya sekedar terompet undangundang dan selain itu juga dalam penerapan hukum oleh para Hakim masih terpaku peraturan perundang-undangan tertulis. Bahkan peraturan, perundang-undangan yang tertulis dianggap keramat oleh banyak Hakim di Indonesia. Akan tetapi tidak semua sistem hukum nasional Indonesia secara bulat mengadopsi sistem hukum yang berkembanga di Eropa, walaupun sebagian besar hukum peninggalan kolonial Belanda masih tetap berlaku. teori hukum murni dalam perjalanannya tidak mampu menjelaskan keadaan hukum secara holistik, maka Satjipto Rahardjo meminjam Sosiologi Hukum sebagai alat bantu untuk menjelaskan persoalan tersebut. Penyebab utama gagalnya suatu teori disebabkan karena teori bersifat instruktif. C. TEORI HUKUM L. FRIEDMAN a. Perdebatan Para Ahli Hukum seputar Substansi Hukum, Struktur Hukum, dan Budaya Hukum Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure) merupakan kerangka, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. komponen substansi hukum (legal substance) merupakan aturan-aturan, norma-norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun, dan komponen budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum. Struktur Hukum yang kemudian dikembangkan di Indonesia terdiri dari : 1. Kehakiman (Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Pokok-pokok kekuasaan Kehakiman) 2. Kejaksaan (Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan) 3. Kepolisian (Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Kepolisian RI) 4. Advokat (Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat) Struktur berhubungan dengan institusi dan kelembagaan hukum, bagaimana dengan polisinya, hakimnya, jaksa dan pengacaranya. Semua itu harus ditata dalam sebuah struktur yang sistemik. Kalau berbicara mengenai substansinya maka berbicara tentang bagaimana Undang-undangnya, apakah sudah perundang-undangannya. Dalam budaya hukum, pembicaraan difokuskan pada upaya-upaya untuk membentuk kesadaran hukum masyarakat, membentuk pemahaman masyarakat memenuhi rasa keadilan, tidak diskriminatif, responsif atau tidak. Jadi menata kembali materi peraturan terhadap hukum, dan memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat. Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundangundangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Hukum dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal dengan konsep hukum law as a tool of social engineering dari Roscoe Pound. atau yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmadja disebutkan sebagai hukum yang berfungsi seba-gai sarana untuk membantu perubahan masyarakat. Pembangunan hukum mrupakan suatu tindakan politik, bukan hukum. Pembangunan hukum bukanlah pembangunan undang-undang, apalagi jumlah dan jenis undang-undang. Pembangunan hukum pun bukanlah hukum dalam arti positif, sebagai suatu tindakan politik, maka pembangunan hukum sedikit banyaknya akan bergantung pada kesungguhan aktor-aktor politik. Merekalah yang memegang kendali dalam menentukan arahnya, begitu juga corak dan materinya. Dari para politisilah lahir berbagai macam undang-undang. Secara formal kelembagaan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berada dijantung utama pembentukan hukum. Dari mereka inilah ide-ide sosial, ekonomi politik dibentuk dan atau diformulasikan secara normatif menjadi kaedah hukum. Norma hukum hanya merupakan salah satu bagian kecil dari kehidupan hukum. Secondary rules yang dikonsepkan H. A.L Hart esensinya sama yaitu nilai-nilai, orientasi dan mimpi orang tentang hukum atau hal hal yang berada diluar norma hukum positif model hart, memainkan peranan yang amat menetukan bagi kapasitas hukum positif. Walaupun norma-norma hukum yang terdapat dalam setiap undang-undang secara positif dianggap merupaka panduan nilai dan orientasi dari setiap orang, akan tetapi secara empiris selalu saja ada cacatcelahnya. perilaku orang selalu tidak sejalan dengan dengan norma-norma yang ada dalam undang-undang. Penyebabnya sangat beragam, salah satunya adalah norma-norma itu tidak sejalan dengan orientasi dan mimpi mereka. Itu sebabnya sebagian ahli hukum mengatakan bahwa kehidupan hukum lebih merupakan sebuah mitos, bahkan kepastian hukum dan kemanfaatan hukum hanyalah mitos yang indah. Substansi hukum bukanlah sesuatu yang mudah direncanakan, bahkan hal ini dapat dianggap sebagai perkara yang sulit, namun bukan karena kesulitan itulah sehingga substansi hukum perlu direncankan, melainkan substansi hukum juga sangat tergantung pada bidang apakah yang hendak diatur. Perlu pula dperhatikan perkembangan sosial, ekonomi dan politik, termasuk perkembangan-perkembangan ditingkat global yang semuanya sulit diprediksi. Sikap politik yang paling pantas untuk diambil adalah meletakan atau menggariskan prinsip-prinsip pengembangannya. Sebatas inilah blue printnya. Untuk itu maka gagasan dasar yang terdapat dalam UUD 1945 itulah yang harus dijadikan prinsip-prinsip atau parameter dalam pembentukan undang-undang apa saja, kesetaraan antar lembaga negara, hubungan yang bersifat demokratis antara pemerintah pusat dengan daerah, hak asasi manusia (HAM) yang meliputi hak sosial, ekonomi, hukum, dan pembangunan harus dijadikan sumber sekaligus parameter dalam menguji substansi RUU atau UU yang akan dibentuk. Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell, konsep budaya hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warga negara terhadap hukum dan kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukan perkara, dan signifikansi hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum. Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda. Aspek kultural menurut Friedman melengkapi aktualisasi suatu sistem hukum, yang menyangkut dengan nilai-nilai, sikap, pola perilaku para warga masyarakat dan faktor nonteknis yang merupakan pengikat sistem hukum tersebut. Wibawa hukum melengkapi kehadiran dari faktor-faktor non teknis dalam hukum. Wibawa hukum memperlancar bekerjanya hukum sehingga perilaku orang menjadi positif terhadap hukum. Wibawa hukum tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang rasional, tetapi lebih daripada itu mengandung unsur-unsur spiritual, yaitu kepercayaan. Kewibawaan hukum dapat dirumuskan sebagai suatu kondisi psikologis masyarakat yang menerima dan menghormati hukumnya. Menurut Friedman budaya hukum diterjemahkan sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum dan lembaganya, baik secara positif, maupun negatif. Jika masyarakat mempunyai nilai nilai yang positif, maka hukum akan diterima dengan baik, sebaliknya jika negatif, masyarakat akan menentang dan menjauhi hukum dan bahkan menganggap hukum tidak ada. membentuk undang-undang memang merupakan budaya hukum. Tetapi mengandalakan undang-undang untuk membangun budaya hukum yang berkarakter tunduk, patuh dan terikat pada norma hukum adalah jala pikiran yang setengah sesat. Budaya hukum bukanlah hukum. Budaya hukum secara konseptual adalah soal-soal yang ada di luar hukum. D. TEORI HUKUM RESPONSIF a. Sejarah Pemikiran Teori Responsif Lahirnya teori hukum ini dilatararbelakangi dengan munculnya masalah-masalah sosial seperti protes massal, kemiskinan, kejahatan, pencemaran lingkungan, kerusuhan kaum urban, dan penyagunaan kekuasaan yang melanda Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Hukum yang ada pada saat itu ternyata tidak cukup untuk mengatasi keadaan tersebut. Di tengah rangkaian kritik atas realitas krisis otooritas hukum itulah, Nonet-Zelnick mengajukan model hukum responsif. Perubahan sosial dan keadilan sosial membutuhkan tatanan hukum yang responsif. kebutuhan ini sesungguhnya telah menjadi tema utama dari semua ahli yang sepaham dengan semangat fungsional, pragmatis, dan semangat purposif (berorientasikan tujuan), sepertinya Roscou Pound, para penganut paham realisme hukum dan kritikus-kritikus kontemporer. Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Zelnick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakan represif dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif). diantara ketiga tipe tersebut, Nonet dan Zelnick berargumen bahwa hanya hukum responsif yang menjanjikan terteb kelembagaan yang langgeng dan stabil. Nonet dan Zelnick lewat hukum Responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik. Kepedulian pada akomodasi sosial. Menyebabkan teori ini tergolong dalam wilayah sosiological juurisprudence dan realist jurisprudence. Dua aliran tersebut pada intinya menyatakan kajian hukum yang lebih empirik melampaui batas-batas formalisme, perluasaan pengetahuan hukum, dan peran kebijakan dalam putusan hukum. Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Apa yang dipikrkan oleh Nonet dan Zelnick, menurut Prof. Satjipto Raharjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analitical jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di pihak lain. Hukum responsif merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan dalam masa transisi. Karena harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya, maka hukum responsif tidak saja dituntut menjadi sistem yang terbuka, tetapi juga harus mengandalkan keutamaan tujuan (the souvereignity of purpose), yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu. Apa yang dikatakan Nonet dan Zelnick itu, sebetulnya ingin mengkritik model analitical jurisprudence atau rechtdogmatic yang hanya berkutat di dalam sisten aturan hukum positif. Model yang mereka sebut dengan tipe hukum otonom. Hukum responsif sebaliknya pemahaman mengenai hukum melapaui peraturan atau teks-teks dokumen dan looking towards pada hasil akhir, akibat, dan manfaat dari hukum itu. Analitical yurisprudence berkutat didalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet. Baik aliran analistis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tidak dapat digugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis, teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. Hukum tidak hanya rules (logicrules) tetapi juga ada logika-logika yag lain. Bahwa memberlakukan yurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat langsung dalam proses penegakan hukum, mulai dari Polisi, Jaksa, Hakim, dan Advokat untuk bisa membebaskan diri dari belenggu hukum murni yang kakuh dan analistis. Produk hukum yang berkarekter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partsipasi semua elemen masyarakat, baik ari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya. Bagi tatanan hukum responsif, hukum merupakan institusi sosial. Oleh karena itu, hukum dilihat dari sekedar suatu sistem peraturan belaka, melainkan juga bagaimana hukum menjalankan fungsi-fungsi sosial dalam dan untuk masyarakatnya. Melihat hukum sebagai institusi sosial, berarti melihat hukum itu dalam kerangka yang luas, yaitu yang melibatkan berbagai proses dan kekuatan dalam masyarakat. Seperti diungkapkan oleh Edwin M. Schur, sekalipun hukum itu nampak sebagai perangkat norma-norma hukum, tetapi hukum merupakan hasil dari suatu proses sosial, sebab hukum dibuat dan dirubah oleh usaha manusia dan hukum itu senantiasa berada di dalam keadaan yang berubah pula. Menurut catatan Nonet dan Zelnick masa dua puluh tahun terakhir merupakan masa bangkitnya kembalai ketertarikan persoalan-persoalan dalam institusi-institusi hukum, yaitu bagaimana institusi-institusi hukum bekerja, berbagai kekuatan yang mempengaruhinya, serta berbagai keterbatasan dan kemampuannya. Sudah lama dirasakan bahwa pembentukan hukum, paradilan, penyelenggara keamanan sangat mudah dipisahkan dari realitas sosial dan dari prinsip keadilan itu sendiri. Kebangkitan ini mereflesikan dorongan akademik bahwa perspektif dan metode studi ilmu sosial berlaku pula unutk analisis atas institusi hukum maupun semangat pembaharuan. Dalam konteks itulah, hukum responsif menurut Nonet dan Zelnick merupakan suatu upaya dalam menjawab tantangan untuk melakukan sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial. Menurut mereka, suatu sintesis dapat dicapai bila kajian tentang pengalaman hukum menemukan kembali persambungannya denga ilmu hukum klasik yang sifatnya lebih intelektual akademik. Ilmu hukum selalu lebih dari sekedar bidang akademik yang dpahami oleh hanya segelintir orang. Teori hukum tidaklah buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak pula kebal dari pengaruh sosial. Ilmu hukum memperoleh fokus dan kedalaman, ketika ia secara sadar mempertimbangkan implikasi-implikasi yang dimilikinya untuk tindakan atau perencanaan kelembagaan. Menurut Nonet dan Zelnick, untuk membuat ilmu hukum lebih relevan dan lebih hidup, harus ada reintegrasi antara teori hukum, teori politik, dan teori sosial. Teori Pound mengenai keseimbangan kepentingan-kepentingan sosial, merupakan sebuah usaha yang lebih eksplisit untuk mengembangkan sebuah model hukum responsif itu. b. Teori Hukum Responsif Dalam Konteks Hukum di Indonesia Di era reformasi sekarang ini yang sudah berjalan lebih dari satu dekade hukum responsif masih dalam proses. Membutuhkan waktu lama agar hukum responsif dapat dijalankan sesuai dengan sebenar - benarnya sehingga demokrasi yang hakiki dapat terwujud demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang - undangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Di Indonesia belum siap untuk menerapkan hukum responsif yang sesungguhnya karena krisis hukum yang terjadi sudah terlanjur dalam, aksi massa sudah sangat sulit dikendalikan baik dengan cara yang represif ataupun responsif sekalipun. Luapan rasa kebebasan yang selama orde baru terkekang dan mencapai titik kejenuhan akhirnya keluar dan meledak. Adalah hal yang wajar dalam waktu awal suatu rezim terjadi pergolakan, karena banyak yang kecewa dengan rezim yang sebelumnya. Setiap orang mempunyai pandangan dan pendapat serta cara sendiri-sendiri yang pada intinya memiliki tujuan dan fungsi yang sama, yaitu membawa perubahan yang lebih baik. Namun karena perbedaan pandangan dan penaf siran sehingga sangat mungkin akan terjadinya gesekan satu sama lain. Dalam hal ini pemerintahpun juga belum mampu mengendalikan situasi, karena mereka yang ada di dalamnya juga sering silang pendapat bahkan tak jarang terjadi adu mulut atau baku hantam antar anggota legeslatif. Cita-cita reformasi yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat madani selalu mengalami kendala baik dari dalam ataupun dari luar. Dapat kita lihat intervensi asing dalam dunia usaha di Indonesia begitu mendominasi, sehingga setiap produk hukum baik itu Undang-undang, Perpu, Perda dan produk hukum yang lain selalu berpihak pada pihak asing. Karena pemerintah belum berani meninggalkan campur tangan asing, mungkin rasa ketergantunagn tersebut sudah terlanjur mendalam. Reformasi di negera kita seakan berjalan ditempat, bahkan ada yang mengatakan lebih parah sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo. 8220Rupanya reformasi sudah mulai menukik terlalu dalam sehingga tidak hanya sampai akar rumput, tetapi didibaratkan akuarium. Maka pasir dan kotoran ikut terobok-obok sampai ke permuakaan. Akuarium menjadi keruh8221. Sangat menarik kiasan yang diutarakan oleh beliau, memang benar adanya bahwa saat ini Negara kita sudah walaupun reformasi sudah berjalan satu decade namun kondisi bangsa kita malah jauh lebih buruk dari sebelemunya (masa orde baru). Bukan pada hal-hal yang sifatnya umum (general) saja yang mengalami kemerosotan, tapi juga hal-hal yang sifatnya urgen seperti ideology, produk hukum berserta aparat penegaknya ataupun lembaga Negara baik ekskutif, yudikatif ataupun legeslatif juga sudah amburadul, inilah yang mungin disbutkan Satjipto Rahardjo sebagai akuarium. Khusus bagi lembaga yudikatif saat ini kondisinya semakin memprihatinkan, seolah-olah hukum hanya berpihak pada mereka-mereka yang berkompeten di dalamnya, termasuk pihak swasta sebagai pengusaha yang notabe-nya telah dikuasai pihak asing, yang juga ikut dalam pembuatan produk hukum tersebut. Yang terjadi saat ini adalah kekerasan dan premanisme di mana-mana, hal ini terjadi karena kekuasaan dikendalikan oleh para intelektual-intelektual semu yang berkultur preman dan sebenarnya tidak memiliki kompetensi untuk menjadi penguasa. Mereka hanya mementingkan diri sendiri dan segelintir orang di sekitarnya. Menurut Satjipto Rahardjo, bahwa saat ini yang harus dilakukan untuk membantu terwujudnya reformasi salah satunya adalah memunculkan atau mengangkat orang-orang baik yang memiliki mentalitas dan kualitas yang terpuji. Seberanya mereka pernah menjadi bagian dari penguasa, namun mereka tersisih karena mereka tidak bisa bermain menurut kultur preman yang dimiliki oleh punguasa kita saat ini. Masih banyak orang-orang baik di negera kita, oleh jarena itu marilah kita bersatu memunculkan dan mengangkat mereka dan menolak massa permanisme. Mudah-mudahan dengan munculnya mereka ke pemerintahan yang berbekal mentalitas dan kualitas yang terpuji dapat membawa kebangkitan kembali Indonesia. E. TEORI HUKUM PROGRESIF a. Sejarah Pemikiran Hukum Progresif Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut dan naik pasang secara bergantian antara demokratis dan otoriter. Dengan logika pembangunan ekonomi yang menjadi prioritas utamanya, periode Orde Baru menampilkan watak otoriter-birokratis. Orde baru tampil sebagai Negara kuat yang mengatasi berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat dan berwatak intervensionis. Dalam konfigurasi demikian hak-hak politik rakyat mendapat tekanan atau pembatasan-pemabatasan. Agenda reformasi yang menjadi tuntutan masyarakat adalah bagaimana terpenuhinya rasa keadilan ditengah masyarakat. Namun didalam realitanya, ukuran rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas. Menurut Hakim Agung Abdul Rachman Saleh, rasa keadilan masyarakat yang dituntut harus mampu dipenuhi oleh para hakim itu tidak mudah. Hal ini dikarenakan ukuran rasa keadilan masyarakat tidak jelas. Dalam diskursus pemikiran hukum di Indonesia, label tentang hukum progresif sudah sangat sering terdengar. Salah satu faktor dari cepatnya penyebaran gaung tersebut tidak lain karena memang eksponen utamanya, yakni Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S. H. adalah seorang kolumnis yang sangat produktif. Produktivitas Pak Tjip (demikian panggilan akrab untuk beliau), tampaknya berangkat dari motto hidupnya sebagai intelektual, yakni seorang intelektual adalah orang yang berpikir dengan tangannya. Faktor lain yang mempopulerkan hukum progresif adalah munculnya sekelompok orang-orang muda yang tergoda dengan corak berpikir di luar arus utama (mainstream) seperti diajukan Pak Tjip. Berkat semangat dan bantuan orang-orang muda inilah karya-karya lama Pak Tjip itu dapat dikompilasi dan dikemas ulang untuk kemudian disajikan kembali kepada para pemerhati dan pegiat hukum di Tanah Air. Salah satu dari sekian banyak idenya tentang hukum adalah apa yang disebut pemikiran hukum progresif. yaitu semacam refleksi dari perjalanan inteletualnya selama menjadi musafir ilmu. Esensi utama pemikirannya, berangkat dari konsep bahwa hukum bukan sebagai sebuah produk yang selesai ketika diundangkan atau hukum tidak selesai ketika tertera menjadi kalimat yang rapih dan bagus, tetapi melalui proses pemaknaan yang tidak pernah berhenti maka hukum akan menampilkan jati dirinya yaitu sebagai sebuah ilmu. Proses pemaknaan itu digambarkannya sebagai sebuah proses pendewasaan sekaligus pematangan, sebagaimana sejarah melalui periodesasi ilmu memperlihatkan runtuh dan bangunnya sebuah teori, yang dalam terrminologi kuhn disebut sebagai 8220lompatan paradigmatik8221 Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya. Karena keadilan sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut (metafisis), terumus secara filosofis oleh petugas hukumhakim. Menurut Pak Tjip, semua aspek yang berhubungan dengan hukum progresif dapat dipadatkan ke dalam konsep progresivisme. Ada beberapa kata kunci yang layak untuk diperhatikan tatkala kita ingin mengangkat pengertian progresivisme itu. Kata-kata kunci tersebut dapat pula ditempatkan sebagai postulat yang melekat pada pemikiran hukum progresif. Kata-kata kunci tersebut antara lain adalah: 1. Hukum progresif itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Pada hakikatnya setiap manusia itu baik, sehingga sifat ini layak menjadi modal dalam membangun kehidupan berhukumnya. Hukum bukan raja (segalanya), tetapi sekadar alat bagi manusia untuk memberi rahmat kepada dunia dan kemanusiaan. Hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka, setiap ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau serta diperbaiki, bukan manusia yang dipaksapaksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. 2. Hukum progresif itu harus pro-rakyat dan pro-keadilan. Hukum itu harus berpihak kepada rakyat. Keadilan harus didudukkan di atas peraturan. Para penegak hukum harus berani menerobos kekakuan teks peraturan (diistilahkan sebagai mobilisasi hukum jika memang teks itu mencederai rasa keadilan rakyat. Prinsip pro-rakyat dan pro-keadilan ini merupakan ukuran-ukuran untuk menghindari agar progresivisme ini tidak mengalami kemerosotan, penyelewengan, penyalahgunaan, dan hal negatif lainnya. 3. Hukum progresif bertujuan mengantarkan manusia kepada kesejahteraan dan kebahagiaan. Hukum harus memiliki tujuan lebih jauh daripada yang diajukan oleh falsafah liberal. Pada falsafah pascaliberal, hukum harus mensejahterakan dan membahagiakan. Hal ini juga sejalan dengan cara pandang orang Timur yang memberikan pengutamaan pada kebahagiaan. 4. Hukum progresif selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the making). Hukum bukan institusi yang final, melainkan ditentukan oleh kemampuannya mengabdi kepada manusia. Ia terus-menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Setiap tahap dalam perjalanan hukum adalah putusan-putusan yang dibuat guna mencapai ideal hukum, baik yang dilakukan legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Setiap putusan bersifat terminal menuju kepada putusan berikutnya yang lebih baik. Hukum tidak pernah bisa meminggirkan sama sekali kekuatankekuatan otonom masyarakat untuk mengatur ketertibannya sendiri. Kekuatankekuatan tersebut akan selalu ada, sekalipun dalam bentuk terpendam (laten). Pada saat-saat tertentu ia akan muncul dan mengambil alih pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan dengan baik oleh hukum negara. Maka, sebaiknya memang hukum itu dibiarkan mengalir saja. 5. Hukum progresif menekankan hidup baik sebagai dasar hukum yang baik. Dasar hukum terletak pada perilaku bangsanya sendiri karena perilaku bangsa itulah yang menentukan kualitas berhukum bangsa tersebut. Fundamen hukum tidak terletak pada bahan hukum (legal stuff), sistem hukum, berpikir hukum, dan sebagainya, melainkan lebih pada manusia atau perilaku manusia. Di tangan perilaku buru, sistem hukum akan menjadi rusak, tetapi tidak di tangan orangorang dengan perilaku baik. 6. Hukum progresif memiliki tipe responsif. Dalam tipe responsif, hukum akan selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri, yang disebut oleh Nonet dan Selznick sebagai the souverignity of purpose. Pendapat ini sekaligus mengritik doktrin due process of law. Tipe responsif menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tidak dapat digugat. 7. Hukum progersif membangun negara hukum yang berhatinurani. Dalam bernegara hukum, yang utama adalah kultur, the cultural primacy. Kultur yang dimaksud adalah kultur pembahagiaan rakyat. Keadaan tersebut dapat dicapai apabila kita tidak berkutat pada the legal structure of the state melainkan harus lebih mengutamakan a state with conscience. Dalam bentuk pertanyaan, hal tersebut akan berbunyi: bernegara hukum untuk apa dan dijawab dengan: bernegara untuk membahagiakan rakyat. 8. Hukum progresif itu merobohkan, mengganti, dan membebaskan. Hukum progresif menolak sikap status quo dan submisif. Sikap status quo menyebabkan kita tidak berani melakukan perubahan dan menganggap doktrin sebagai sesuatu yang mutlak untuk dilaksanakan. Sikap demikian hanya merujuk kepada maksim rakyat untuk hukum. Hukum progresif menganggap bahwa keadilan tidak hanya di pengadilan, tapi ada dimana-mana, dan itu kelebihan utama dari pemikiran hukum progresif. Anggapan ini bisa menjerumuskan jika diartikan secara artifisial dan tidak bertanggung jawab, sebab pemberian diskresi yang berlebihan akan menyebabkan hukum akan kehilangan fungsinya sebagai kontrol sosial. Hukum tidak dapat lagi mengatur masyarakat karena penafsiran yang bebas terhadap keadilan, maka jadilah suatu struktur sosial kembali pada hukum rimba, siapa kuat dia yang menang karena aturan bersifat fleksibel. Penegakan hukum berdasarkan perubahan dalam masyarakat juga bisa berakibat pada sulitnya keteraturan itu diciptakan, sebab masyarakat selain mempunyai sifat selalu berubah juga terbentuk dari banyak identitas dan unsur serta bersifat majemuk tentang pemahaman keadilan. Kondisi ini akan melahirkan hukum yang bisa mengakibatkan ketimpangan, juga karena hukum berlaku adalah kehendak mayoritas, maka akan terjadi diskriminasi terhadap kelompok minoritas. BAB III PENUTUP Kesimpulan Menurut J. J.H. Bruggink, teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. hubungan dogmatik hukum dengan teori hukum tidak saling tumpang tindih, melainkan satu sama lain memiliki telaah sendiri-sendiri (mandiri), sebagaimana dibawah ini : a. Dogmatik hukum mempelajari aturan-aturan hukum itu dari suatu sudut pandang teknikal (walaupun tidak a-normatif), maka teori hukum merupakan refleksi terhadap teknik hukum ini. b. Dogmatik hukum berbicara tentang hukum. Teori hukum berbicara tentang cara yang dengannya ilmuwan hukum berbicara tentang hukum. c. Dogmatik hukum mencoba lewat teknik-teknik interpretasi tertentu menerapkan teks undang-undang yang pada pandangan pertama tidak mengajukan pertanyaan tentang dapat digunakannya teknik-teknik interpretasi, tentang sifat memaksa secara logikal dari penalaran interpretasidan sejenisnya lagi. Teori Hukum dan Filsafat Hukum dapat dirangkum sebagai sebuah hubungan meta-displin (filsafat hukum) terhadap disiplin objek(teori hukum), dan terkait pada Filsafat Hukum secara esensial mewujudkan suatu pemikiran spekulatif sedangkan Teori Hukum mengupayakan suatu pendekatan ilmiah-positif terhadap gejala hukum. Ilmu hukum adalah 8220ilmu normatif8221, demikian dinyatakan oleh Kelsen berkali-kali. Hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Ciri hakiki dari norma adalah sifatnya yang hipotetis. Sikap yang diambil Hans Kelsen adalah pemurnian hukum dari kepentingan-kepentingan di luar hukum seperti politik, keadilan, ideologi dan seterusnya. Hukum merupakan teknik sosial yang spesifik dengan objek hukum positif. Kelsen juga menolak untuk memberikan definisi hukum sebagai suatu perintah. Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure) merupakan kerangka, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. komponen substansi hukum (legal substance) merupakan aturan-aturan, norma-norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun, dan komponen budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum. Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Hukum tidak hanya rules (logicrules) tetapi juga ada logika-logika yag lain. Bahwa memberlakukan yurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Hukum responsif menurut Nonet dan Zelnick merupakan suatu upaya dalam menjawab tantangan untuk melakukan sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial. Menurut mereka, suatu sintesis dapat dicapai bila kajian tentang pengalaman hukum menemukan kembali persambungannya denga ilmu hukum klasik yang sifatnya lebih intelektual akademik Salah satu dari sekian banyak ide Sartjipto Raharjo adalah tentang hukum adalah apa yang disebut pemikiran hukum progresif. yaitu semacam refleksi dari perjalanan inteletualnya selama menjadi musafir ilmu. Esensi utama pemikirannya, berangkat dari konsep bahwa hukum bukan sebagai sebuah produk yang selesai ketika diundangkan atau hukum tidak selesai ketika tertera menjadi kalimat yang rapih dan bagus, tetapi melalui proses pemaknaan yang tidak pernah berhenti maka hukum akan menampilkan jati dirinya yaitu sebagai sebuah ilmu. Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya. Karena keadilan sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut (metafisis), terumus secara filosofis oleh hakim. Buku Arinanto Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univesitas Indonesia, Jakarta, 2008 Assiddiqie Jimly M Ali Safa8217at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum Sekretariat Jenderal kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006 Ayyub Andi Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam 8220Law in Book and Law in Action8221 Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, 2006 Dimyati Khudzaifah. Teorisasi Hukum, Muhamadiyah Press, Surakarta, 2004 Friedman L, Teori dan Filsafat hukum: Telaah kritis atasi Teori-Teori Hukum (susunann I), judul asli Legal Theory, penerjemah: Mohammad Arifin, Cetakan kedua, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada 1993) Friedman Lawrence M, 1977, Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc Kusumaatmadja, 1986, Fungsi dan Perkem-bangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Binacipta Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009 Manan Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang8208undangan Dasar8208Dasar dan Pembentukannya, Sekretariat KIH 8211 UI, Jakarta, 1996, hal. 28. Dikutip dari Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, Russell Russell, 1945 Nonet Philippe Philip Zelnick, Law and Society in Transition:Toward Tanggapanive Law, London:Harper and Row Publisher, 1978 Pound Roscoe. 1989, Pengantar Filsafat Hukum, Jakar-ta: Bhratara, hal. 51. Mochtar Rahardjo Satjipto. Peningkatan Wibawa Hukum Melalui Pembinaan Budaya Hukum, Makalah pada Lokakarya Pembangunan Bidang Hukum Repelita VII, BPHN, Jakarta Raharjo Satjipto. hukum progresif (penjelajak suatu gagasan) makalah disamapaikan pada acara jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semaraang, tanggal 4 september 2004 Raharjo Sartjipto. Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980. Rahardjo Satjipto dalam Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi (Surabaya: Kita, 2006) Rahardjo Satjipto. Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009) Rahardjo Satjipto. Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006) Rahardjo Satjipto. Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007) Rahardjo Satjipto. Hukum dan Perilaku: Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009) Rahardjo Satjipto. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009 Roger Cotterrell, 1984, The Sociology of Law An Introduction, London: Butterworths Rahardjo Satjipto. Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Cet.6 Salman Otje S Anton Susanto, Teori Hukum (mengingat, mengumpulkan, dan membuka kembali) PT Rafika Aditama, Bandung, 2010 Artikel Artikel Utama, Jurnal Keadilan, Vol. 2 No. 1 Tahun 2002 Internet setneg. go. id arah pemikiranpembangunan hukum pasca Perubahan UUD 1945

No comments:

Post a Comment